
Tutut Soeharto Beberkan Kedekatan Pak Harto dan KH. M Ma’shum
JAKARTA — Dalam sebuah acara di Pondok Pesantren Al-Ishlah, Bondowoso, Jawa Timur, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut Soeharto) mengisahkan awal mula kedekatan mendiang ayahandanya, HM Soeharto, dengan pendiri pondok pesantren tersebut, KH. M Ma’sum. Kiai kharismatik ini pernah mengerahkan ribuan santrinya ke Jakarta, untuk menghalangi proses-proses tidak baik terhadap yayasan-yayasan yang didirikan oleh HM Soeharto.
Di hadapan ratusan santri yang hadir dalam acara tablig akbar dan pengajian tafsir jalalain di Ponpes Al-Ishlah Bondowoso, Siti Hardijanti Rukmana mengisahkan kedekatan Keluarga Cendana dengan ponpes yang berdiri sejak 1970 itu.
Ia mengatakan, kedekatan tersebut berawal sejak 1989, ketika Pak Harto melalui Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), memberikan bantuan di bidang peningkatan gizi dan kesehatan bagi para santri Ponpes Al-Ishlah. Hal ini didasari oleh amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 1, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Namun saat itu negara belum mampu, sehingga Pak Harto melibatkan peran masyarakat untuk berpartisipasi aktif mendorong percepatan pembangunan yang diamanatkan UUD 1945 tersebut. Agar fakir miskin, yatim dan anak-anak terlantar dan siapa pun yang membutuhkan bantuan dapat cepat tertolong dan tertanggulangi, sehingga meringankan beban masyarakat dan mampu menjadi insan yang mandiri.
“Karenanya, Pak Harto mendirikan beberapa yayasan, salah satunya Dharmais, untuk dapat melaksanakan hal tersebut. Jadi, kalau ada pihak-pihak yang mengatakan yayasan-yayasan itu kami dirikan untuk kepentingan diri sendiri, saya merasa sangat sedih,” kata Tutut Soeharto.
Tutut Soeharto menegaskan, bahwa ia mengetahui betul, betapa Pak Harto berpikir siang-malam merumuskan konsep pelaksanaan pembangunan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dapat terlaksana dengan benar.
“Tujuan baik, mulia, penerima manfaatnya jelas, pertanggungjawabannya pun transparan, mengapa bisa dibawa ke arah prasangka buruk seperti itu?” ujarnya, mempertanyakan.
Perlu diketahui, sambung Tutut Soeharto, jauh sebelum menjadi presiden, Pak Harto juga telah mendirikan yayasan, yaitu Yayasan Trikora, yang memberikan bantuan kepada para janda dan anak-anak tentara yang wafat saat operasi Mandala, dan beberapa operasi militer lainnya.
“Namun, masih saja ada pihak yang berprasangka buruk. Bukankah, Allah SWT berfirman dalam Surat Al Hujurat ayat 12, ‘wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka ada dosa,” kata Tutut Soeharto.

Putri Presiden Soeharto ini mengatakan lagi, bahwa terkait hal itu, banyak pihak termasuk sebagian media massa juga sering memberitakan dengan tidak benar.
“Apakah mereka tidak senang, jika masyarakat tertolong mendapatkan manfaat yang baik dari yayasan-yayasan yang telah didirikan Bapak (HM Soeharto)?”, katanya, lagi.
Tutut Soeharto pun kemudian menyampaikan, tercatat hingga 1994 penerima beasiswa dari berbagai yayasan yang didirikan oleh Pak Harto kurang lebih 233.463 orang, beasiswa sekolah menengah kejuruan mencapai 536.670 orang, bantuan komputer untuk universitas-universitas.
Bersama Ponpes Al-Ishlah pun Yayasan Dharmais memiliki kerja sama berupa diklat keterampilan dan kewirausahaan sampai kepada bantuan permodalan.
“Sampai 2002, sudah 5.000 santri dan santriwati mendapatkan manfaat, dan masih banyak lagi program lainnya. Semuanya nyata, dan bisa dicari informasinya sendiri di yayasan-yayasan yang didirikan Pak Harto,” jelas Tutut Soeharto.
Tetapi, setelah Pak Harto berhenti dari jabatan presiden, banyak pihak dengan niat tidak baik ingin, agar yayasan-yayasan yang didirikan Pak Harto dipermasalahkan, bahkan dibekukan.
Tentu saja, kata Tutut Soeharto, hal tersebut mendapat perlawanan dari para penerima manfaat, karena aset yayasan-yayasan bisa diselewengkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, dan bantuan pun terhenti.
“Bahkan, almarhum KH. M Ma’sum mengerahkan ribuan santrinya ke Jakarta, untuk menghalangi proses-proses yang tidak baik itu. Karena rasa sayangnya Beliau kepada Pak Harto, dan tentu dalam menjunjung tinggi kebenaran,” ungkap Tutut Soeharto.

Putri sulung Presiden Soeharto dalam kesempatan ini pun mengatakan, jika pada 1998, Pak Harto menyatakan berhenti dari jabatan presiden, yang istilah media massa, ‘dilengserkan.
“Padahal, waktu itu jelas Pak Harto membacakan surat berhenti, agar tidak terjadi kekacauan dan pertumpahan darah di antara anak bangsa. Kalau mau mempertahankan kekuasaan, tentu dengan posisi Bapak (Pak Harto -red) waktu itu, bisa. Hanya Bapak memilih untuk berhenti,” jelas Tutut Soeharto, sembari menyampaikan pesan kepada para santri, agar senantiasa tabayyun terhadap semua informasi.