Sore hari, pertengahan Maret 1988, ajudan bapak memberi tahu saya : “Mbak ditimbali bapak.”
Saya jawab “Ya sebentar nanti saya sowan bapak.”
“Sekarang ya mbak,” desak ajudan bapak.
“Iya sekarang saya menghadap,” jawab saya lagi.
Segera saya ke rumah bapak. Bapak sedang duduk dikursi sambil nonton TV. Melihat saya datang, bapak matikan TV nya.
“Bapak nimbali (memanggil) saya?” sambil cium tangan bapak, saya bertanya.
Bapak sambil menunjuk kursi supaya saya duduk berkata: “Ngene wuk (nduk), bapak itu didesak-desak terus oleh beberapa Menteri Kabinet Pembangunan dan teman-teman bapak yang senior. Minta supaya bapak menyantumkan kamu di dalam Kabinet Pembangunan ke-V ini,”.
“Maksud bapak saya jadi salah satu Menteri pak?” saya memotong bicara bapak.
“Iya,” kata bapak. “Bapak sudah bilang jangan…, karena dia anak saya, nanti dikira KKN. Tapi mereka meyakinkan bapak bahwa kamu mampu bukan karena kamu anak bapak, tapi kamu punya kemampuan”.
Saya terdiam. Sejujurnya tidak pernah terlintas di dalam benak saya, bahkan terfikirpun tidak, untuk jadi Menteri.
“Akhirnya bapak sampaikan kepada mereka, ya nanti saya tanyakan anak saya dulu. Karena itu, bapak ingin tahu apakah kamu bersedia menjadi Menteri Sosial RI. Kamu nggak usah jawab sekarang. Kamu pulang tanya ke suamimu dan anak-anakmu, apakah mereka mengijinkan,” lanjut bapak.
“Bapak apakah saya diijinkan menjawab sekarang?” saya mencoba menawar.
“Boleh,” bapak menjawab singkat.
“Nyuwun Sewu bapak, sebelumnya dalem (saya) mohon maaf yang sebesar-besarnya. Bukan dalem (saya) menolak ataupun tidak mau mengemban tugas ini. Tapi pak, saya adalah putri bapak. Apa kata orang nanti. Bapak dibilang KKN. Dan saya kira kemampuan saya masih terbatas. Saya tidak mau menjadi beban bapak. Yang seharusnya bapak konsentrasi penuh dalam pembangunan Bangsa dan Negara, akhirnya harus terpecah, karena memikirkan apakah saya bikin salah atau tidak. Karena bagaimanapun saya adalah putri bapak,” saya lihat bapak mendengarkan sambil tersenyum. “Jadi Bapak, dengan segala hormat dan maaf, ijinkan saya menolak untuk dijadikan Menteri,”.

Tidak saya sangka bapak berkata: “Alhamdulillah, bapak juga berfikir demikian. Tapi karena didesak terus, bapak menyanggupi untuk menanyakannya pada kamu. Bapak akan sampaikan jawaban kamu ke semuanya,”.
Saya langsung ke bapak dan sungkem ke bapak: “Nyuwun pangapunten pak (mohon maaf pak),”.
Bapak sambil mencium kening saya berkata: “Ora opo-opo (Tidak apa-apa), yang penting kamu harus berani menyampaikan pendapat kamu, tapi harus disertai alasan yang benar, tepat dan bisa dipertanggung jawabkan,”.
Sejak peristiwa itu, saya tetap melanjutkan kiprah saya dalam mendampingi para remaja maupun para pengrajin, agar lebih dapat berpartisipasi aktif dalam mewujudkan kejayaan bangsa Indonesia. Juga melanjutkan tugas-tugas sosial kemasyarakatan saya. Selain itu mengerjakan bisnis saya, untuk menunjang kegiatan saya. Karena semua yang kami manfaatkan —untuk kegiatan sosial— adalah dari hasil jerih payah saya dan kawan-kawan saya.
*
Lima (5) tahun berlalu sudah…
Bulan Maret lagi, hanya tahunnya berbeda. Kini tahun 1993. Ajudan bapak kembali menyampaikan pada saya, bahwa bapak memanggil saya. Saat itu juga saya ke rumah bapak, menemui bapak di ruang duduk.
“Bapak nimbali saya?” saya bertanya sambil cium tangan bapak.
“Iyo, lungguh (duduk) disik (dulu)!”.
Setelah saya duduk, bapak langsung bicara: “Kamu kan tahu, Alhamdulillah bapak terpilih lagi mengemban tugas jadi Kepala Pemerintahan. Bapak harus menyusun Menteri Kabinet Pembangunan VI. Dan kali ini, desakan mereka pada bapak semakin keras, untuk memasukkan kamu menjadi Menteri Sosial RI. Bapak juga jawab, saya tanyakan ke anaknya dulu. Kali ini kamu jangan menjawab sekarang. Kamu pikir baik-baik, tanyakan pada suami kamu dan anak-anakmu. Bapak kasih waktu 3 (tiga) hari untuk berfikir. Setelah itu kamu cari bapak, sampaikan jawaban kamu!”.
Saya tidak bisa membantah perkataan bapak, jadi langsung saya jawab: “Baik bapak, dalem (saya) akan pikirkan dan tanyakan pada mas Indra dan anak-anak,”.
Tiga hari kemudian saya menghadap bapak, seperti biasa bapak sedang lenggah (duduk) minum teh sambil dahar (makan) singkong rebus dan blondo kesukaan bapak. Saya cium tangan bapak, bapak berkata: “Singkong mentega ini enak, kowe (kamu) gelem (mau) opo ora (apa tidak)?”.
Saya ambil satu, bapak berkata : “Pakai blondo (ampas membuat minyak kelapa) wuk, mau (tadi) ibumu sing gawe (ibumu yang bikin). Lengo klentike (minyak kelapanya) mau dibikin minyak telon (Ibu selalu membuat minyak telon sendiri untuk anak-anak dan cucu-cucu beliau). Memang enak singkong dan blondo,”.
Selesai saya makan, bapak bertanya : “Sudah kamu tanyakan ke suamimu Wuk?”.
“Sampun pak (Sudah pak),” saya menjawab. “Dalem (saya) sudah Tanya ke mas Indra. Dia bilang, apapun yang akan saya putuskan, mas In akan mendukung. Bila saya putuskan untuk menerima menjadi Menteri, mas Indra akan membantu sepenuhnya tugas-tugasnya saya. Tapi andai pun tidak menerima juga, tetap akan membantu tugas-tugas saya. Jadi diserahkan pada saya untuk memutuskan. Anak-anak pun demikian juga. Mamah lebih tahu kata mereka,”.
Bapak tampak serius mendengarkan: “Apa jawabanmu?”.
Dengan sangat hati-hati dan sedikit tegang saya mejawab: “Bapak, mohon maaf yang setulus-tulusnya… Boleh nggak, saya membantu bapak tidak di struktur pemerintahan. Rasanya saya lebih banyak bisa membantu bapak di luar struktur, karena banyak yang bisa saya lakukan. Banyak komitmen yang belum saya selesaikan. Seperti Kirab Remaja, sekarang sudah taraf Asia, kami akan kembangkan ke taraf dunia. Lalu kerajinan rakyat Indonesia, sudah dipasarkan ke tingkat Internasional, namun ada beberapa yang belum. Lalu Donor Darah, kami sedang giat memerangi calo-calo darah, supaya yang membutuhkan darah langsung ke PMI dan mudah mendapatkannya. Masih ada beberapa kegiatan lain pak yang memerlukan perhatian khusus. Kalau bapak ijinkan, saya akan menyelesaikan tugas-tugas tersebut pak. Tapi kalau bapak perintahkan untuk saya menjadi Menteri Sosial, saya akan siap melaksanakannya,”.

Saya berharap bapak tidak marah pada saya, dengan was was saya menunggu, dengan senyumnya yang khas, bapak mejawab: “Ya sudah kalau itu sudah menjadi keputusanmu. Selesaikan komitmenmu sampai tuntas, jangan sampai tergantung-gantung, yang akan mengakibatkan tidak tercapai target yang diinginkan,”.
Alhamdulillah bapak tidak marah malah mendukung niat saya, bersyukur saya pada-NYA.
Namun bapak ada permintaan khusus untuk saya saat itu: “Karena bapak sudah mencatumkan nama kamu di susunan Kabinet pembangunan VI, bapak tidak mencadangkan nama lain, jadi karena kamu menolak, ya kamu carikan gantinya, yang bisa jadi Menteri Sosial RI. Kalau sudah ada kamu bawa ke bapak namanya!”.
Waduh celaka, siapa yang mau saya pilih.
Sepertinya bapak tahu yang saya pikirkan: ”Di kader-kader Golkar itu kan banyak. Coba kamu pilih mana yang rajin, giat dan tegas kerjanya, berwawasan luas dan peduli pada rakyat!” bapak memberi saran. “Tapi jangan lama-lama nyarinya!” arahan bapak lagi.
Setelah beberapa hari akhirnya saya mendapatkan orang yang mudah-mudahan memenuhi persyaratan yang bapak ajukan. Saya segera menghadap bapak ke Cendana.
“Bapak, saya sudah dapat calon Menteri Sosial bapak, mudah-mudahan bapak tidak kecewa,”.
“Siapa namanya?” tanya bapak tidak sabar.
“Ibu Inten Suweno pak,” saya menjelaskan.
“Oh istrinya Weno,” kata bapak. Ternyata pak Weno adalah anak buah bapak.
“Betul pak. Saya lihat Bu Inten kerjanya bagus, orangnya tegas, sikapnya sopan dan ramah. Walaupun mempunyai kendala tangannya hanya satu pak, putus karena kecelakaan, tapi tidak menghalangi kerja beliau. Mudah-mudahan bapak setuju dengan yang saya haturkan ke bapak. Susah pak nyarinya walaupun kader-kader wanita Indonesia banyak dan bagus-bagus semua, tapi saya harus memilih yang dapat saya pertanggung jawabkan,”.
Singkat cerita, Alhamdulillah bapak menerima usulan saya, dan bu Inten dilantik menjadi Menteri Sosial RI.
*
Lima tahun lagi berlalu sudah… Saya juga sudah menyelesaikan tugas-tugas yang sampaikan ke bapak. Alhamdulillah Kirab Remaja Nasional tahun 1995, kami mengundang remaja dari Manca Negara. Dua puluh tiga (23) negara memenuhi undangan, termasuk Amerika, Inggris dan Australia.
Alhamdulillah kerajinan Indonesia menembus dunia… Calo donor darah Alhamdulillah teratasi. Tugas-tugas lain juga kami tangani.
Bulan maret 1998, bapak memanggil saya lagi. Kali ini bapak tampak serius waktu saya menghadap beliau.
“Kamu tahu kan kenapa bapak memanggil kamu?” bapak bertanya.
“Walau tahu pak, saya takut salah menebak, lebih baik saya bilang tidak tahu saja ya pak?” saya jawab agak sedikit mbanyol melihat bapak agak serius. Bapak jadi tersenyum mendengar jawaban saya.
“Memang ini berkaitan dengan memilih pembantu bapak dalam Kabinet Pembangunan VII. Hanya kali ini bapak tidak akan menanyakan kamu mau menerima atau tidak. Bapak meminta kesediaan dan kerelaan kamu membantu bapak menjadi Menteri Sosial RI di Kabinet Pembangunan VII. Bapak memerlukan tenaga dan pemikiran kamu untuk menangani masalah sosial yang ada di Indonesia. Yang ada di pelosok-pelosok negeri maupun di kota-kota besar,”.
Ini sudah menjadi perintah bukan lagi permintaan. Tanpa pikir panjang saya langsung memotong bicara bapak, dan menjawab : “Saya siap pak. Dengan seluruh kemampuan yang saya punya saya akan laksanakan perintah bapak,”. Rasa haru tak dapat ditepis, langsung saya sungkem ke bapak. “Insya Allah saya tidak mengecewakan bapak,”.

Bapak njenggung (memukul halus dengan bagian bawah kepalan tangan) dahi saya, dan berkata :
“Sing ati ati, jangan tipis kuping, kalau ada masalah jangan langsung diputuskan sendiri, bahas dengan yang berkompeten menangani. Banyak mendengar keluhan dari bawah. Kamu harus bisa secara terus menerus mengobarkan rasa ‘Kesetiakawanan Sosial nasional’, sehingga semua peduli dengan masalah sosial yang ada di masyarakat. Dekatkan selalu dirimu pada Tuhan, karena hanya Tuhan yang bisa membimbing kita menuju arah yang benar dalam kita melangkah,” bapak mencium kening saya. “Kamu pulang sekarang, kasih tahu Indra dan anak-anakmu!”.
Saya mohon diri, dan saya ceritakan pada mas Indra, dia katakan memang sudah seharusnya saya membantu bapak. Anak-anak pun tidak keberatan.
Sejak itu saya laksanakan semua perintah dan petunjuk bapak. Sampai akhirnya bapak memutuskan untuk berhenti karena desakan dari beberapa pihak, yang melalukan demonstrasi besar-besaran. Dan saya ikut bapak, berhenti.
“Bapak… Apapun kata orang tentang bapak, bagi kami, bapak adalah Presiden kami yang selalu melaksanakan tugasnya secara konstitusional dan sesuai undang-undang yang berlaku di Indonesia. Bapak selalu dekat dengan rakyat. Apapun bapak lakukan adalah untuk rakyat. Bapak kebanggaan kami anak-anak dan cucu cucu bapak. Tenanglah bapak ibu di atas sana, doa kami selalu menyertaimu. We love you bapak dan ibu …,”.
Ya ILLAHI… satukan bapak dan ibu kami di sorga-MU… Aamiin.
Jakarta, 29 Juni 2018,
Pukul 05.00, usai subuh.
Ibu Tutut masih ada yang tertinggal unt negeri ini
Ibu Pertiwi sedang sedih
Ibu Pertiwi memanggil seorang anak bangsa
Bu Tutut yang baik terimalah Panggilan itu
Jika ini SUNNATULLAH maka Bismillahirrahmaanirrahiim
Pimpinlah negeri ini… agar menjadi negeri yang gemah ripah lohjinawi
Insyaa ALLAH kami selalu berdoa agar Ibu Tutut selalu dalam keberkahan dan dalam tindakannya semata mata krn Ibadah karena ALLAH SWT
Pimpinlah negeri ini
jujur saya kangen dengan senyum yang khas itu….
Sudah waktunya memenuhi panggilan Ibu pertiwi untuk mengabdi pada negeri yang kita Cintai ini