Teringat akan suatu saat di tahun 80-an dimana waktu itu aku akan mencoba ikut tender jalan tol yang diselenggarakan oleh Jasa Marga. Namun sebelumnya aku ingin minta pendapat bapak dulu.
Sore-sore aku sowan (berkunjung) ke bapak, aku mulai bertanya : “Bapak boleh nggak saya ikut tender mengerjakan pembangunan jalan tol”.
Diluar dugaan saya …bapak menjawab: “Jangan tanyakan ke bapak … tanyakan ke diri kamu, mampukah kamu dan anak buahmu mengerjakan proyek tersebut, kalau kamu merasa mampu ya kerjakan, ikut tender”.
“Bagaimana saya tahu kalau saya mampu pak”.
“Kalau kamu bersemangat untuk mengerjakannya, berarti kamu mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk menyelesaikannya.” Kata bapak.
Penasaran aku bertanya : “Hanya itu pak.”
“ Yo ora (tidak), tergantung juga, seberapa besar usahamu dan kawan-kawanmu menganalisa proyek tersebut, berapa besar manfaatnya dan berapa besar resikonya, untuk dijadikan bahan dalam menyusun proposal yang baik, wajar, masuk akal, dan menarik.”

Berbekal nasehat-nasehat bapak, kami memutuskan ikut tender dengan pertimbangan kami merasa telah menghitung dengan cermat dan tepat. Hingga pada hari keputusan siapa pemenang tender dibacakan, ternyata kami kalah. Rasa kecewa dan sedih menyelimuti hati kami.
Besoknya, saya datang ke bapak, dengan wajah murung.
“ Piye wuk, tendermu menang opo kalah,” bapak tiba-tiba bertanya ke saya, seolah-olah tahu isi hatiku.
Saya jawab : “Kalah pak.”
Bapak tersenyum sambil berkata : “Berarti kamu belum siap.”
“Rasanya dalem (saya) dan teman-teman sudah ngitung dengan cermat loh pak,” jawab saya nggak mau disalahkan.
“Buktinya kamu kalah,” kata bapak.
“Padahal saya pun tahajut mohon pada Allah agar tender kami menang pak,” saya mendebat.
“ Itu namanya Allah sayang kamu,” dengan sabar bapak berkata.
“ Bapak itu bagaimana sih. Wong dalem (saya) kalah, bapak ngendiko (bilang) Allah sayang,” dengan nada agak kesal saya menjawab.
Bapak memberi penjelasan dengan sabar : “Mungkin menurut Allah, kalau kamu menang, kamu tidak bisa menyelesaikannya, atau akan ada masalah di kemudian harinya, karena Allah sayang kamu, jadi tidak dibantu untuk memenangkannya.”
Dalam hatiku … ada benernya juga kata bapak.
Lalu bapak memberi nasehat : “Kamu harus bisa menerima ini semua dengan sabar dan ikhlas. Apakah kalau kamu tetap merasa kecewa dan marah, akan mendapatkan proyek tersebut. Tidak kan, yang ada malah jadi stress. Cobalah kamu nikmati apapun yang Allah berikan pada kita, kamu akan merasakan nikmatnya hidup ini.”
“Bagaimana caranya menikmati kesusahan pak. Mau tersenyum saja sulit,” kata saya.

“Nah justru itu jawabnya, tanamkan senyum selalu di hatimu, caranya, ambil wudhu terus sholat. Mohon pada Allah agar diberi kemudahan dalam mengendalikan hawa nafsu kita, diberi kesabaran, ketegaran, keikhlasan dan mohon lindungan, petunjuk, serta bimbingan NYA, agar selalu di jalan NYA.”
“Bapak, semua nasehat dan ajaran ajaran bapak, membuat kami semakin dewasa dalam kami meniti karir di bidang usaha. Kami bangga mempunyai bapak yang tidak memanjakan kami, namun selalu mendidik kami. Terima kasih ya ALLAH, telah ENGKAU lahirkan aku dan adik-adikku dari seorang bapak yang bernama Soeharto dan seorang ibu bernama Siti Hartinah. Sayangi dan cintai bapak dan ibuku, tempatkanlah keduanya di surga-MU ya ALLAH …… aamiin.”
9 Juni 2018
Pukul 5.30 usai Subuh
Terimakasih tulisan sebagai pembelajaran bagi diri saya pribadi
Alfatihah untuk Hp HM Soeharto dan Ibu Tien, dan sehat selalu untuk Mbak Tutut dan keluarga besar Cendana, aamiin.
Amin ya Allah Amin Surgalah ditangannya Amin Yra
Banyak rakyat indonesia..tidak tahu cerita ini..terus ekspos cerita2 begini bu tutut..bisa jd bahan pelajaran hidup rakyat indonesia..
Aamiin semoga beliau mendapat tempat yang mulia disisi Allah
Aamiin…Al fatihah buat Bapak Soeharto dan Ibu Siti Hartinah