MEMERANGI LEPROPHOBYA (4): MEREKA JUGA PEMBANGUN BANGSA
Oleh: Siti Hardiyanti Rukmana
Kami para pekerja sosial yang tergabung di HIPSI (Himpunan Pekerja Sosial Indonesia), dimana saya Alhamdulillah sebagai Ketua Umum-nya, dengan izin dan ridho Allah, dapat melaksanakan tugas kami dalam memerangi Leprophobya di Indonesia.
Dikatakan sukses Alhamdulillah, dikatakan tidak sukses … ya… jangan doooong…
Direktur RS. Kusta Sitanala Tangerang, dr. Ignatius Haryanto S., beserta seluruh jajarannya, telah mengimbau saya untuk menyelenggarakan Pekan Olah Raga Bekas Penyandang Kusta I. Saya siap menerima tugas pak Haryanto.
Baca juga: MEMERANGI LEPROPHOBYA (1): MENEPIS KERAGUAN
Saya berfikir, akan lebih meriah dan berbobot apabila pekan olah raga ini dibuka oleh ibu sebagai Ibu Negara Republik Indonesia.

Karenanya saya ke ibu dan menyampaikan niat saya :
“Bu dalem (saya) mau matur (bicara) sebentar ya,”.
“Ono (ada) opo (apa) tho wuk?”, tanya Ibu.
“Ibu kan pirso (tahu) mantan penyandang kusta yang belum lama ini menghadap bapak. Kami pekerja sosial Indonesia bekerja sama dengan Rumah Sakit Kusta Sitanala, akan menyelenggarakan Pekan Olah Raga Bekas Penyandang Kusta Nasional I …”
“Kosik (sebentar) wuk (nak), critamu ke Rumah Sakit Kusta waktu itu bagaimana?” ibu memotong laporan saya.
“Kasihan Bu mereka, sudah tubuhnya cacat karena penyakit kusta, hidupnya dikucilkan, keluarganya terasingkan dari kehidupan masyarakat, ruang geraknya terisolir. Dari penjelasan Menkes Prof. Dr. Adiyatma ke saya Bu, kusta itu bukan penyakit turunan, kusta itu dapat diobati, kusta itu dapat dicegah, kusta itu tidak menular, kecuali apabila ada kontak langsung dalam waktu lama kemungkinan tertular ada,” saya mulai bercerita.


“Anak anaknya apa ketularan kusta juga?” ibu memotong cerita saya.
“Kalau anaknya hidup dengan mereka dan tiap hari secara terus menerus terjadi kontak, misal sering menyuapi, menyusui, menggendong dan perilaku yang serupa, mereka akan tertulari. Nah ini yang biasanya di kalangan masyarakat dikatakan penyakit turunan, padahal bukan. Tetapi kalau anaknya dijauhkan dari si penderita, mereka tidak akan tertular. Jadi sehat walafiat. Namun malangnya, mereka tidak diterima belajar di sekolah negeri ataupun sekolah umum,”.
“Kena apa kok nggak boleh?” Ibu mulai penasaran.
“Karena murid-muridnya, orang tua murid, dan para guru, takut tertular kusta, walaupun sudah dijelaskan bahwa mereka tidak sakit,”.
“Kasihan sekali hidupnya. Nah inilah kesempatan bagi masyarakat lain yang lebih baik hidupnya untuk membantu mereka yang kurang beruntung. Mungkin mereka tidak menyadari bantuan sekecil apapun yang mereka berikan, akan besar artinya bagi si penerima bantuan, dalam hal ini para penyandang kusta.
Dengan membantu mereka supaya dapat diterima di komunitas umum, berarti mereka membangun karya karya kecil dari para penyandang kusta untuk bangsa dan Negara. Kamu ingat pesan ibu tho wuk, bahwa memberikan karya kita pada Bangsa dan Negara, jangan dilihat dari besar kecilnya karya itu, tapi ketulusannya. Walaupun yang kamu sumbangkan hanya setitik karya, namun jadikan yang setitik itu menjadi bagian dari pembangun bangsa,”.
Baca juga: MEMERANGI LEPROPHOBYA (2): MENEMANI PENDERITA


Ibu terdiam sebentar, lalu melanjutkan petuahnya:
“Tapi ibu tidak menyalahkan masyarakat, karena mereka tidak tahu kalau kusta itu tidak menular. Yo saiki (sekarang) tugasmu wuk (nak), untuk memberikan penyuluhan pada masyarakat dan membantu pemerintah. Kapan-kapan ibu mau ketemu dengan mereka ya wuk dan ….”
Saya langsung potong ngendikane (pembicaraan) ibu: “Nah ini dia bu, pucuk dicinta ulam tiba. Maksud dalem (saya) sowan (menghadap) ibu mau nyuwun (minta) perkenan ibu untuk membuka Porpentanas. Ibu kerso (mau) ya bu.”
“Porpentanas itu apa?”, tanya Ibu lagi.
“Porpentanas itu, Pekan Olah Raga Bekas Penyandang Kusta Nasional, ibu mau ya untuk memberikan semangat pada mereka, dan juga untuk memberikan contoh pada masyarakat, bahwa yang sudah dinyatakan sembuh dari kusta, walaupun cacat tapi tidak akan menular,”.

Ibu masih bertanya: “Apa ada pengikutnya nanti?”.
Langsung saya jawab : “Banyak Bu. Mereka datang dari hampir seluruh provinsi di Indonesia yang terjangkiti kusta. Pesertanya yang sudah mendaftar banyak kok Bu. Kira kira 1.300 orang lebih. Mereka yang sudah sembuh di daerah masing-masing biasanya mendapat latihan olah raga, untuk meningkatkan stamina dan daya tahan tubuh mereka,”.
“Banyak juga ya pesertanya. Diadakan di mana?”.
“Di Tanggerang. Kira-kira tangal 15 – 25 November 1988,” saya menjelaskan.
“Baiklah kalau begitu, Ibu bersedia membuka Porpentanas I, ibu nyumbang Piala bergilir yo,” secara spontan ibu berkata.
“Alhamdulillah, matur sembah nuwun (terima kasih banyak) ibuku sayang,” saya bersyukur sambil mencium tangan ibu.
Baca juga: MEMERANGI LEPROPHOBYA (3): TITIK TERANG DI SUDUT HARAPAN
Ibu tersenyum melihat tingkah saya, dan berkata: “Kasih tahu ajudan ibu, untuk menjadwalkan pertemuan ibu dengan mereka. Ketemu ibu disik (dulu) tho wuk?”.
“Harus ketemu dong bu, biar lebih akrab ibu dengan mereka,” cepat saya menjawab.
“Kasih tahu ajudan untuk menjadwalkan segera, di rumah saja!”.
Di hari yang sudah ditetapkan, ibu menerima mereka. Terlihat wajah ibu sangat bahagia dapat menjamu mereka. Penuh canda tawa tak ada kendala.

Aku bangga karena ibu merupakan Ibu Negara yang pertama di dunia yang bersilaturahmi dengan penyandang kusta di tahun 1988. Satu tahun kemudian langkah ibu Tien diikuti oleh Lady Diana, pada November 1989.
Ibu, kami putra putri ibu selalu ibu bimbing menjadi bagian dari pembangun bangsa, sekecil apapun itu wujudnya. Kami bangga punya ibu yang penuh ide dan yang selalu berfikir untuk membantu masyarakat kecil.
We always love you dearest Ibu ….
Ya ILLAHI, satukan ibu dan bapak kami di sorga-MU .. AAMIIN.
Bersambung ……
Jakarta 25 Juni 2018
Pukul 3.30 WIB menjelang subuh
———————–
Catatan: Pada saat mendampingi penderita kusta, saya menulis sajak “MEROBEK SILAM YANG KELAM“
MasyaAllah…bangga sekaligus terharu melihat kebaikan keluarga bunda. Semoga bapak dan ibu mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Diampuni segala dosanya dan diterima semua amal ibadahnya. Semoga bunda selalu diberikan kesehatan dan keberkahan. Dan semoga kita bisa bertemu lagi dia acara KRN selanjutnya. Aamiin ya Rabbal Aalamiin
Saya Putra bungsu pak Ignatius Haryanto, sangat bangga dengan Bapak saya, waktu itu begitu terharu melihat Bapak bisa membawa Para penyandang kusta tersebut menghadap ke Ibu Negara, merupakan kebanggaan karena mereka (penyandang kusta) ini selalu dikucilkan, saya selalu hidup bersama sama dengan mereka di mess Bapak di Tangerang, mereka ini orang orang Baik tidak berbeda dengan yang lain nya,.. Special ucapan Terima Kasih untuk Ibu Tutut, karena sudah membantu terlaksana nya Porpentanas pertama di Indonesia.
Salam,
Xeto