Mohon maaf sebelumnya apabila foto foto yang saya sertakan dalam tulisan ini kurang berkenan. Bukan bermaksud menebar sadisme. Tiada lain untuk mengajak kita semua agar bisa melihat secara utuh, memahami dan merasakan penderitaan mereka. Mudah-mudahan kita terketuk pula untuk saling memberikan penyuluhan dan edukasi pada masyarakat yang belum tahu. Kabarnya, jumlah penderita penyakit ini, pada saat ini juga masih tinggi di negara kita.
Baca juga: MEMERANGI LEPROPHOBYA (1): MENEPIS KERAGUAN
Setelah perbincangan panjang lebar dengan Menteri Kesehatan Bapak Prof. Dr. Adiyatma, saya bersama kawan kawan saya yang tergabung dalam HIPSI (Himpunan Pekerja Sosial Indonesia), berangkat menuju Rumah Sakit Sitanala. Sebagaimana janjinya, bapak Adiyatma mendampingi kami.

Sesampai di sana kami diterima oleh pimpinan RS Sitanala beserta jajarannya. Setelah diberi penjelasan mengenai seluruh kegiatan RSS, kami pun mulai diajak keliling melihat pasien-pasien.
Trenyuh hati saya melihat mereka. Ada yang jari tangannya putus, ada yang jari kaki putus. Menyedihkan sekali melihat penderitaan mereka.
Tentu seperti bapak —Presiden Soeharto— katakan, tidak ada satupun dari mereka yang mau terjangkiti penyakit kusta.
Dengan sabar dan runtut, bapak Menteri Kesehatan menjelaskan penyakit yang mereka alami.
“Ini bakterinya sudah menyerang syaraf di bawah permukaan kulit, sehingga jari-jarinya mulai melengkung dan kaku Mbak”

Dalam hati, saya berpikir, kalau seandainya penyakit ini sangat berbahaya dan sangat menular, pasti semua dokter dan perawat sudah terkena penyakit kusta, nyatanya semua terlihat sehat dan bugar. Tidak ada tanda mereka sakit. Kenapa saya harus ragu.
Akhirnya, dari yang tadinya masih ada rasa takut, saya memberanikan diri untuk memegang mereka. Bismillah… Siapa takut…

“Coba Mbak Tutut lihat ini, dia habis menginjak paku, tapi karena sudah mati rasa jadi tidak merasa sakit dan tidak tahu, akibatnya jadi infeksi. Bakteri Mycobacterium leprae dengan cepat menyerang bagian tersebut mengakibatkan kakinya jadi membusuk dan mereka tetap tidak merasakan apa-apa,” Prof Adiyatma menjelaskan.

“Ibu ini terkena wajah dan tangannya Mbak”
“Pada penderita kusta fungsi syaraf nyerinya sudah mati, padahal fungsi syaraf nyeri itu untuk melindungi tubuh kita dari kerusakan. Akibatnya jari-jari tangan ibu ini pelan-pelan mulai putus satu persatu,” Pak Adiyatma menjelaskan dengan sabar.
“Kalau sudah putus begini, tidak akan bisa diperbaiki, jadi cacat permanent walaupun kustanya dapat disembuhkan. Karenanya dianjurkan, segera berobat ke puskemas terdekat apabila mendeteksi penyakit kusta di keluarganya maupun pada dirinya sendiri, sedini mungkin sebelum terjadi kerusakan”
“Di ruangan ini, terdapat kotak-kotak bak air yang dilengkapi dengan air kran. Setiap hari pasien dicuci kakinya dan di sikat dengan sikat kawat.”

Saya tanya langsung ke pasiennya : “Ini disikat dengan sikat kawat kenceng begini, apa tidak sakit.”
“Sama sekali tidak merasa apa-apa, Bu,”.

“Mereka tidak merasa sakit Mbak, karena sudah mati rasa seluruh syaraf yang terkena kusta,” menegaskan pak Adiyatma.

“Bapak ini adalah pasien yang sudah dinyatakan sembuh Mbak. Dia harus menjaga stamina tubuhnya, cukup gizi dan hidup bersih di rumahnya, agar bakteri kusta tidak datang lagi. Dan mereka bisa bekerja sesuai bidang yang ditekuni, bapak ini bikin sandal. Tidak kalah hasilnya dengan yang sehat,” tersenyum pak Adiyatma mengakhiri penjelasannya.
Mereka tersisih dan terbuang dari komunitas masyarakat karena ketidakberdayaan mereka. Itupun belum cukup. Mereka juga khawatir pendidikan anak-anak mereka, yang Alhamdulillah terlahir sehat walafiat, namun harus menanggung akibatnya. Karena tidak diterima sekolah umum, disebabkan murid-muridnya, orang tua murid dan para guru takut tertular, padahal ini bukan penyakit keturunan.
Melihat penderitaan mereka, bulat sudah tekadku untuk menemani mereka para mantan penyandang kusta. Sekaligus membantu Pemerintah memerangi Leprophobia.
Terima kasihku pada-MU ya ILLAHI yang telah memberi kesempatan pada kami untuk berbuat sesuatu bagi saudara kami yang membutuhkan kami.
Pak Adiyatma, terima kasih telah memberikan ilmu bapak yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan bermasyarakat di Indonesia ini kepada kami. Tuhan selalu bersama bapak… Aamiin.
Bersambung ……
Jakarta 22 Juni 2018, jam 00.00
———————–
Catatan: Pada saat mendampingi penderita kusta, saya menulis sajak “MEROBEK SILAM YANG KELAM“
Assalamualaikum, mbak Tutut. Saya mohon izin memuat ulang artikel2 panjenengan di portal berita saya voiceofindonesia.com, boleh mbak?
Ariyono Lestari Solo